Darah Haid Sudah Berhenti, Tapi Belum Mandi Janabah, Bolehkah Berhubungan Suami-Isteri?
Oleh : Aini Aryani
Salah satu larangan bagi wanita yang sedang haid adalah berhubungan
suami-isteri. Dan bagi wanita yang sudah berhenti atau selesai masa
haidnya namun belum sempat mandi janabah, ada sedikit perbedaan di
kalangan ulama Fiqih tentang boleh atau tidaknya berhubungan intim bagi
wanita tersebut.
1. Madzhab Al-Hanafiyah [1]
Ulama dari
madzhab ini membolehkan wanita haid yang sudah berhenti darah haidnya
untuk berhubungan suami isteri, walau belum mandi janabah, dengan syarat
sudah melewati hari ke-10 sejak hari pertama haidnya. Durasi 10 hari
adalah durasi maksimal haid dalam madzhab Hanafi.
Ada beberapa
ketentuan bagi wanita haid terkait boleh dan tidaknya berhubungan intim
usai berhentinya darah haid. Sebagaimana dijelaskan oleh salah satu
ulama madzhab Hanafi, yakni Ibnu Abdin dalam kitabnya Hasyiyah, yakni :
a. Darah berhenti di akhir durasi maksimal haid, atau lebih.
Dalam madzhab Hanafi, durasi maksimal haid adalah 10 hari. Ketika
darahnya benar-benar berhenti pada hari ke-10 atau lebih, ia boleh
berhubungan seksual walaupun belum sempat mandi janabah. Yang penting
darahnya benar-benar sudah berhenti keluar. Akan tetapi wanita tersebut
tetap dianjurkan menunda hubungan seksual sampai ia melakukan mandi
janabah terlebih dulu.
b. Darah berhenti sebelum mencapai durasi maksimal haid (sebelum hari ke-10)
Jika darahnya berhenti sebelum mencapai hari ke-10 dari hari pertama
haid, ia tidak boleh berhubungan suami-isteri sebelum mandi janabah.
c. Darah berhenti setelah mencapai durasi kebiasaan
Poin ini berlaku bagi wanita Mu'taadah, yakni wanita yang memiliki
siklus haid teratur dimana ia bisa memprediksi durasi haidnya dengan
cara melihat dari kebiasaannya. Misalnya, wanita yang setiap bulannya
selalu memiliki durasi haid yang tetap (6 hari, atau 7 hari, atau 8
hari, dst).
Bagi wanita Mu'taadah yang terbiasa haid selama 6
hari (misalnya), jika darah haidnya sudah berhenti di hari ke-6 atau
lebih, maka ia boleh berhubungan suami isteri setelah mandi janabah. Dan
tidak boleh melakukannya sebelum mandi janabah.
d. Darah berhenti sebelum mencapai durasi kebiasaan
Poin ini juga hanya berlaku bagi wanita Mu'taadah.
Wanita mu'tadah yang terbiasa haid selama 7 hari (misalnya), jika darahnya keluar di hari ke-4 atau ke-5 atau ke-6, maka ia belum boleh berhubungan suami-isteri, bahkan walaupun ia sudah mandi janabah.
Wanita mu'tadah yang terbiasa haid selama 7 hari (misalnya), jika darahnya keluar di hari ke-4 atau ke-5 atau ke-6, maka ia belum boleh berhubungan suami-isteri, bahkan walaupun ia sudah mandi janabah.
Artinya, wanita mu'tadah hanya boleh berhubungan intim jika : [1]
darahnya berhenti di akhir durasi kebiasaannya, dan [2] sudah mandi
janabah terlebih dulu.
Catatan:
Dari poin-poin diatas dapat disimpulkan bahwa madzhab Hanafi tidak membolehkan wanita yang baru selesai haidnya untuk berhubungan suami-isteri sebelum mandi janabah. Kecuali jika sudah mencapai hari ke-10 atau lebih sejak hari pertama keluarnya haid.
Dari poin-poin diatas dapat disimpulkan bahwa madzhab Hanafi tidak membolehkan wanita yang baru selesai haidnya untuk berhubungan suami-isteri sebelum mandi janabah. Kecuali jika sudah mencapai hari ke-10 atau lebih sejak hari pertama keluarnya haid.
2. Madzhab Al-Malikiyyah, As-Syafi'iyyah, Al-Hanabilah.
Jumhur Ulama dari madzhab Maliki, Syafi'i dan Hambali berpendapat bahwa
wanita yang bersih dari haid masih belum boleh melakukan hubungan intim
selama ia belum melakukan mandi janabah. [2]
Sebab wanita haid
yang hendak melakukan hubungan intim harus melalui 2 fase, yakni :
At-Thuhr (berhentinya darah haid) dan Al-ghusl (melakukan mandi
janabah). Hal tersebut disebutkan dalam QS. Al-Baqarah: 222 yang isinya :
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ
النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا
تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ
يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Mereka
bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran".
Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid;
dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila
mereka telah bersuci, maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. (QS.
Al-Baqarah : 222)
Dalam ayat diatas terdapat dua redaksi yang harus difahami, yakni :
يَطْهُرْنَ
تَطَهَّرْنَ
يَطْهُرْنَ
تَطَهَّرْنَ
Yang pertama (يَطْهُرْنَ) bermakna "suci" secara hakiki yakni
berhentinya darah haid. Dan yang kedua (تَطَهَّرْنَ) bermakna "bersuci"
yakni melakukan mandi janabah untuk mengangkat hadats besarnya usai
haid.
Bahkan ulama dari madzhab Maliki menegaskan bahwa bersuci
dengan tayammum saja tidak menjadikan wanita tersebut boleh berhubungan
intim dengan suaminya sampai ia benar-benar mandi janabah menggunakan
air. [3]
Kesimpulan
Mayoritas ulama fiqih (selain madzhab
Hanafi) berpendapat bahwa wanita haid yang sudah berhenti darahnya tidak
boleh berhubungan seksual sebelum ia melakukan mandi janabah. Hal
tersebut sesuai dengan QS. Al-Baqarah : 222.
Adapun ulama dari
madzhab Hanafi memang membolehkan wanita haid yang sudah berhenti
darahnya untuk berhubungan intim, dengan syarat sudah melewati durasi
maksimal haid, yang dalam madzhab ini 10 hari. Dalam keadaan inipun,
madzhab ini tetap menganjurkan si wanita untuk mandi janabah tersebih
dahulu.
Wallahu A'lam Bishshawab.
Referensi :
1. Hasyiyah Ibn Abdin, jilid 1 hal. 195
2. Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Jilid 18, hal. 325
3. Hasyiyah Ad-Dasuqi 'Ala Asy-Syarh Al-Kabir, jilid 1 hal. 173
1. Hasyiyah Ibn Abdin, jilid 1 hal. 195
2. Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Jilid 18, hal. 325
3. Hasyiyah Ad-Dasuqi 'Ala Asy-Syarh Al-Kabir, jilid 1 hal. 173
0 komentar:
Posting Komentar