Senin, 12 September 2016 | By: Admin

MENANGISLAH KARENA ALLAH

MENANGISLAH KARENA ALLAH
.
Suatu hari, seorang tokoh bertamu ke rumah Hasan Al Basri. Sambil menunggu, ia duduk di tempat shalat ulama kharismatik itu. Tiba-tiba tangannya menyentuh sesuatu yang basah di situ. Ia melihat ke atap, tidak ada yang bocor. Dengan setengah marah, ia berkata kepada keluarga Hasan Al Basri. “Mengapa kalian membiarkan anak kecil masuk ke tempat shalat Syaikh kami?”
.
“Apa maksud Anda?” tanya istri Hasan Al Basri.

.
“Lihatlah ini. Ada ompol di tempat shalat beliau. Seharusnya tempat ini disterilkan dari anak-anak” katanya dengan nada menasehati.
.
“Itu bukan ompol. Bukan pula air yang tumpah. Tetapi ketahuilah, sesungguhnya setiap kali Hasan Al Basri shalat di situ, ia tak kuasa membendung air matanya. Setiap kali sujud, ia menangis dan berderailah air matanya. Hingga tempat itu hampir selalu basah dan tak pernah kering."
.
Pernahkah sebulir bening airmata kita menetes karena takut pada-Nya, sesering kita menangis akan derita dunia yang menimpa?
.
Pernahkah kita bersedih saat teringat dosa-dosa kita, sesedih saat kita kehilangan harta dunia yang kita miliki?

Syiar Cerita Islam dan Motivasi Islam: Engkau Bersama Dengan Orang Yang Engkau Cintai

Syiar Cerita Islam dan Motivasi Islam: Engkau Bersama Dengan Orang Yang Engkau Cintai: Siapa Idolamu ? Di Akhirat Kelak Engkau Akan Bersama Dengan Orang Yang Engkau Idolakan . Dalam riwayat lain di Shohih Bukhari, Anas menga...

Engkau Bersama Dengan Orang Yang Engkau Cintai

Siapa Idolamu ? Di Akhirat Kelak Engkau Akan Bersama Dengan Orang Yang Engkau Idolakan . Dalam riwayat lain di Shohih Bukhari, Anas mengatakan . “Kami tidaklah pernah merasa gembira sebagaimana rasa gembira kami ketika mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Anta ma’a man ahbabta (Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai)” .
Anas pun mengatakan . “Kalau begitu aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan ‘Umar. Aku berharap bisa bersama dengan mereka karena kecintaanku pada mereka, walaupun aku tidak bisa beramal seperti amalan mereka.” . Itulah keutamaan orang yang mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang sholeh, pelaku kebaikan yang masih hidup atau pun yang telah mati. Namun, kecintaan ini dilakukan dengan melakukan perintah Allah dan Rasul-Nya, menjauhi setiap larangan dan beradab sesuai yang diajarkan oleh syari’at Islam. (Lihat Syarh Muslim, 8/483) .
Bandingkan, bagaimana jika yang dicintai, diidolakan dan diagungkan adalah para artis dan pemain bola? Lihatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas: “Kalau begitu engkau bersama dengan orang yang engkau cintai” . Ditegaskan pula dalam riwayat Thobroni dalam Mu’jamnya, dari ‘Aisyah secara marfu’ (sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) .
“Tidaklah seseorang mencintai suatu kaum melainkan dia akan dikumpulkan bersama mereka pada hari kiamat nanti.” (Lihat ‘Aunul Ma’bud, 11/164, Asy Syamilah) . Siapa yang mau dikumpulkan di hari kiamat bersama dengan orang-orang pelaku maksiat atau orang-orang kafir? .
Jadikanlah idolamu dan tambatan cintamu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, Umar, Utsman, para sahabat lainnya, dan orang sholeh bukan para artis, pemain bola dan pelaku maksiat lainnya. Realisasikan cintamu dengan mengikuti jejak mereka (orang-orang sholeh) dalam setiap perkataan dan perbuatan . (Ustadz M. Abduh Tuasikal ).
https://www.facebook.com/SyiarCeritaIslamDanMotivasiIslam/
http://syiarceritamotivasiislam.blogspot.co.id/
Minggu, 11 September 2016 | By: Admin

Sunnah Idul Adha

SUNNAH DI HARI IDUL ADHA .
  1. Mandi. Mandinya sama dengan mandi junub namun yang membedakan niatnya. Waktu mandi yang sesuai sunah Nabi Shalallahu 'alaihi wa Sallam yaitu setelah masuk Subuh (sebelum atau sesudah shalat). .
  2. Memakai pakaian yang terbaik.Sebagaimana diriwayatkan dari Nafi': “Ibnu Umar biasa mengenakan bajunya yang terbaik pada Idul Fitri dan Idul Adha” (HR. Al Baihaqi) .
  3. Tidak makan hingga kembali dari shalat Id. Dalilnya: “Nabi Shallallahu’alahi Wasallam biasanya tidak keluar pada hari Idul Fitri hingga makan terlebih dahulu, dan tidak makan pada hari Idul Adha hingga beliau kembali dari shalat, lalu makan dengan daging sembelihannya” (HR. Muslim) .
  4. Mengambil jalan yang berbeda ketika pergi shalat Id. Dalilnya: “Nabi Shallallahu’alahi Wasallam biasanya ketika hari Id mengambil jalan yang berbeda antara pulang dan pergi” (HR. Bukhari) .
  5. Jalan kaki menuju lapangan sholat Ied Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu anhu berkata: “Termasuk perbuatan sunnah, kamu keluar mendatangi sholat ied dengan berjalan kaki”. (HR. At-Tirmidzi)
  6. Menuju lapangan sholat Ied sambil bertakbir .
  7. Mengucapkan tahni’ah “Taqobbalallohu minna wa minkum” Sunnah para ulama mengucapkan selamat dan doa "Taqaballahu minna wa minkum" -semoga Allah menerima ibadah saya dan anda- . Fatwa para ulama besar bahwa ucapan doa dan selamat bebas selama tidak menyalahi syariat, misalnya "Minal aidzin wa faidzin" .
  8. Menyembelih hewan kurban setelah sholat Iedul Adha Dalilnya: “Barangsiapa yang menyembelih sebelum sholat, berarti ia menyembelih hanya untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang menyembelih sesudah sholat, maka telah sempurnalah qurbannya dan sesuai dengan sunnahnya kaum muslimin.” (HR. Bukhari) .
  9. Tidak berpuasa pada hari raya Iedul Adha Dalilnya: “Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang puasa pada 2 hari: hari raya Idul Adha dan Idul Fithri.” (HR. Muslim) .
Taqobbalallohu minna wa minkum! .

https://www.facebook.com/SyiarCeritaIslamDanMotivasiIslam/


Kamis, 08 September 2016 | By: Admin

BACAAN PENGGANTI QUNUT KETIKA IMAM TIDAK MEMBACA QUNUT

Alhamdulillah saya mendapatkan ilmu dan alhamdulillah saya bisa
Sharing mengenai Fiqih dari Ust. Assadullah Jakarta Utara

Apabila kita sholat Shubuh dan masing masing imam ada yang memakai Qunut ada pula yang tidak ..
dan ketika kita mendapatkan imam yang tidak memakai Qunut maka Setelah membaca Tahiyat akhir di akhir bacaan Innakahamidummajid membaca :
اَللَّهُـمَّ إِنيِّ أَعوُذُ بِكَ مِنْ عَذاَبِ جَهَنَّمَ،وَمِنْ عَذاَبِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْـنَةِ الْمَحْياَ وَالْمَماَتِ وَمِنْ فِتْـنَةِ الْمَسيِحِ الدَّجاَّلِ

Allahumma inni a’udhu bika min ‘adhabi jahannam, wa min ‘adhabil-qabr, wa min fitnatil-mahya wal-mamat, wa min fitnatil-masihid-Dajjal
Setelah itu membaca doa yang saya kasih stabilo warna kuning



dan, apabila masih belum hafal maka tahiyat dibaca berulang -ulang di bagian Asyahadu alla illaha illallah. Wa'asyhadu anna Muhammadar Rasulullah. Allahumma solli'ala Muhammad wa'ala aliMuhammad. Kama sollaita'ala Ibrahim wa'ala aliIbrahim. Wabarik 'ala Muhammad wa'ala aliMuhammad. Kama barakta 'ala Ibrahim wa'ala aliIbrahim. Fil 'alamina innaka hamidummajid.
Terimakasih Semoga Bermanfaat dan diamalkan.

Pengajian Masjid Al'amal Kavling Tipar Timur Semper Barat Jakarta Utara
Konsultasi dan Sharing mengenai Masalah silahkan
Semoga bermanfaat
.Silahkan Klik https://syiarceritamotivasiislam.blogspot.co.id/
Konsultasi silahkan inbox atau email ke scidmilove2016@gmail.com
Rabu, 07 September 2016 | By: Admin

Suci Dari Haid di Waktu Ashar, Wajibkah Meng-qadha' Shalat Dzuhurnya?

Suci Dari Haid di Waktu Ashar, Wajibkah Meng-qadha' Shalat Dzuhurnya?
opik kali ini sangat penting untuk dibahas, sebab sepertinya masih banyak wanita yang belum benar-benar tau tentang hal ini.

"Jika ada wanita haid, kemudian di akhir durasi haidnya dia suci di waktu Ashar, apakah dia wajib meng-qadha waktu dzuhur atau tidak?"

Atau begini :

"Jika ia sudah suci di waktu isya , apakah dia wajib mengqadha shalat maghribnya?”

Mengapa kita membahas ini? Bukankah masing-masing merupakan waktu shalat yg berbeda? Mengapa dibahas?

Para ulama memandang 2 waktu ini (Dzuhur dan Ashar / Maghrib dan Isya') memiliki keterkaitan dalam waktu, atau dalam istilah fiqih disebut dengan ‘tadaaaruk al-waqt”. Dimana dua pasang waktu ini bisa digabung dalam shalat jamak. Yakni jamak taqdim dan ta’khir.

Dalam masalah wajibnya qadha dzuhur / maghrib saat wanita suci di waktu Ashar/ Isya' ini para ulama berbeda pendapat. Sebagian dari mereka masih mewajibkan dengan sebab adanya 'tadaruk al-waqt" antara Dzhuhur dengan Ashar. Tetapi sebagian ulama lainnya tidak memandang demikian.

Berikut rincianyna:
1. Madzhab Al-Hanafiyah
Mazhab Al-Hanafiyah tidak menyebutkan secara jelas apakah harus meng-qadha’ dhuhur dan maghrib jika terlewat atau tidak, akan tetapi mazhab ini hanya menyebutkan keumuman tidak wajibnya mengqadha’ shalat bagi wanita haid atas shalat-shalat yang ia tinggalkan selama masa haidnya berlangsung.

As-Sarakhsi (w. 483 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Al-Mabsuth menuliskan sebagai berikut :

فَإِذَا طَهُرَتْ قَضَتْ أَيَّامَ الصَّوْمِ وَلَا تَقْضِي الصَّلَاةَ

Dan jika dia (wanita haid) sudah suci, maka wajib baginya mengganti puasa (puasa wajib yang terlewat) dan tidak ada kewajiban atasnya mengganti shalat (yang terlewat).[1]
2. Madzhab Al-Malikiyah

Para ulama mazhab Al-Malikiyah sepakat bahwa jika seorang perempuan suci di sore hari, yakni di akhir waktu dzuhur menjelang ashar. Jika masih ada waktu yang sekiranya cukup untuk mengerjakan kira-kira 5 rakaat, maka wajib baginya mengerjakan shalat dhuhur, dan kemudian melaksanakan shalat ashar setelah masuk waktunya.

Akan tetapi jika waktu yang tersisa di sore itu hanya cukup untuk mengerjakan kira-kira 4 rakaat atau kurang dari itu, maka baginya hanya wajib mengerjakan shalat ashar tanpa mengerjakan shalat dhuhur. Karena waktunya dianggap sudah berlalu.

Ibnul Jallab (w. 378 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah dalam kitab At- Tafri’ fi Fiqhil Imam Malik bin Anas menuliskan sebagai berikut :

وليس على الحائض قضاء ما فات وقته من الصلوات، وعليها أن تصلي ما أدركت وقته من الصلوات. فإن أدركت أول الوقت وجب عليها الأداء، وإن أدركت آخره فكذلك أيضًا، وذلك إذا تطهرت من حيضتها، وقد بقي عليها من النهار قدر خمس ركعات، فيجب عليها أن تصلي الظهر والعصر لإدراكها آخر وقتها. وإن كان الذي بقي عليها من النهار قدر أربع ركعات أو ما دونهن إلى ركعة واحدة، صلت العصر لإدراكها آخر وقتها، وسقط الظهر عنها لفوات وقتها.

Tidak ada kewajiban bagi seorang wanita meng-qadha’ shalat yang terlewat, kewajibannya hanya melaksanakan shalat pada waktunya. Jika dia suci di awal waktu shalat maka wajib mengerjakan shalat itu, begitupun jika dia suci di akhir waktu shalat.

Dan hal itu terjadi jika ia suci di siang hari (akhir waktu dzuhur), dan masih ada waktu shalat kira-kira 5 rakaat, maka wajib baginya shalat dhuhur, begitu juga shalat ashar dan ashar, karena dia masih masuk dalam waktu shalat (dzuhur). Dan jika waktu yang tersisa di siang hari itu hanya cukup untuk mengerjakan shalat 4 rakaat atau kurang, maka dia hanya wajib shalat ashar karena hanya mendapati akhir waktu dzuhur (menjelang ashar) dan gugur kewajiban shalat dhuhur karna waktunya sudah lewat.[2]

Ats- Tsa’labi (w. 422 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah di dalam kitab Al- Ma’unah ala Mazhabi ’Alimil Madinah menuliskan sebagai berikut :

فلو طهرت الحائض وبلغ الصبي لقدر خمس ركعات، فإلى أن تطهر وتلبس وبقي عليه قدر ركعة كان عليه العصر دون الظهر

Jika (di akhir waktu dzuhur) seorang wanita telah suci dari haid, dan anak yang baru saja baligh mendapati waktunya masih cukup untuk shalat selama 5 rakaat, maka wajib baginya dhuhur dan kemudian ashar. Namun jika waktu yang tersisa hanya cukup untuk mengerjakan 1 rakaat, maka wajib baginya shalat ashar tanpa shalat dhuhur.[3]
3. Madzhab Asy-Syafi’iyah

Ulama dari madzhab Asy-Syafi’iyah mengatakan, jika seorang wanita yang suci dari haid dan masih ada waktu sore (secara mutlak, tidak membatasi sisa waktunya) maka wajib baginya mengganti shalat dhuhur dan melaksanakan shalat ashar.

Imam Al-Haramain (w. 478 H) salah satu ulama dalam mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitabnya Nihayatul Mathlab fi Diraayatil Mazhab menuliskan sebagai berikut :

ثم يتفق انقطاعُ الحيض في آخر النهار، فيجب قضاءُ الظهر مع العصر

Kemudian mereka (ulama madzhab Syafi'i) sepakat jika darah haid sudah berhenti di akhir siang hari, maka wajib baginya qadha’ shalat Dhuhur dan Ashar.[4]
4. Madzhab Al-Hanabilah

Dalam permasalahan ini, ulama mazhab Al-Hanabilah dengan jelas mengatakan kewajiban bagi seorang wanita mengganti shalat dhuhur/ maghrib dan melaksanakan ashar/ isya’ walaupun waktu yang tersisa dari waktu shalat tersebut hanya sebentar.

Ibnu Qudamah (w. 620 H) ulama dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughni menuliskan sebagai berikut :

ولنا ما روى الأثرم، وابن المنذر، وغيرهما، بإسنادهم عن عبد الرحمن بن عوف، وعبد الله بن عباس، أنهما قالا في الحائض تطهر قبل طلوع الفجر بركعة تصلي المغرب والعشاء، فإذا طهرت قبل أن تغرب الشمس، صلت الظهر والعصر جميعا

Dalam mazhab kami (Hanabilah), seperti apa yang diriwayatkan Al-Atsram, dan ibnu mundzir, dari yang lainnya dengan sanad dari Abdurrahman bin 'Auf, dan Abdullah ibnu Abbas, dalam masalah haid. Jika ia bersuci sebelum terbit fajar (akhir waktu isya) masih ada waktu satu rakaat: maka baginya sholat maghrib dan isya, dan apabila suci sebelum terbenamnya matahari (akhir waktu ashar), maka baginya menjama' shalat Dzuhur dan Ashar.[5]

Ibnu Taimiyah (w. 728 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Majmu' Fatawa menuliskan sebagai berikut :

وَلِهَذَا قَالَ الصَّحَابَةُ كَعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ وَغَيْرِهِ: إنَّ الْمَرْأَةَ الْحَائِضَ إذَا طَهُرَتْ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ صَلَّتْ الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ. وَإِذَا طَهُرَتْ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ صَلَّتْ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ

Seorang wanita yang haidh ketika sudah suci sebelum fajar (akhir waktu isya', sebelum masuk shubuh), maka ia wajib shalat maghrib dan isya. Dan apabila ia suci sebelum terbenamnya matahari (akhir waktu ashar sebelum masuk maghib), maka wajib baginya shalat Dzuhur dan Ashar.[6]

Al-Mardawi (w. 885 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Inshaf fi Ma'rifati Ar-Rajih minal Khilaf menuliskan sebagai berikut :

قَوْلُهُ (وَإِنْ بَلَغَ صَبِيٌّ، أَوْ أَسْلَمَ كَافِرٌ، أَوْ أَفَاقَ مَجْنُونٌ، أَوْ طَهُرَتْ حَائِضٌ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ بِقَدْرِ تَكْبِيرَةٍ: لَزِمَهُمْ الصُّبْحُ، وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ: لَزِمَهُمْ الظُّهْرُ وَالْعَصْرُ، وَإِنْ كَانَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ: لَزِمَهُمْ الْمَغْرِبُ وَالْعِشَاءُ)

Apabila seorang anak kecil telah baligh, orang kafir masuk islam, orang gila menjadi sadar, atau wanita yang haidh itu suci sebelum terbitnya matahari maka mereka wajib shalat subuh, tapi jika kejadiannya sebelum matahari terbenam maka mereka wajib shalat Dzuhur dan Ashar, dan kalau kejadiannya sebelum terbit fajar maka mereka wajib menunaikan shalat maghrib dan isya.[7]
[1] As-Sarakhsi, Al-Mabsuth, jilid 3 hal 81.

[2] Ibnul Jallab, At- Tafri’ fi Fiqhil Imam Malik bin Anas, jilid 1 hal 111.

[3] Ats- Tsa’labi, Al- Ma’unah ala Mazhabi ’Alimil Madinah, jilid - hal 266.

[4] Imam Al-Haramain, Nihayatul Mathlab fi Diraayatil Mazhab, jilid 1 hal 398.

[5] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 1 hal 287.

[6] Ibnu Taimiyah, Majmu' Fatawa, jilid 2 hal 347.
[7] Al-Mardawi, Al-Inshaf fi Ma’rifati Ar-Rajih min Al-Khilaf, jilid 1 hal 442.
======================
Semoga bermanfaat
.Silahkan Klik https://syiarceritamotivasiislam.blogspot.co.id/
Konsultasi silahkan inbox atau email ke scidmilove2016@gmail.com

Darah Haid Sudah Berhenti, Tapi Belum Mandi Janabah, Bolehkah Berhubungan Suami-Isteri?

Darah Haid Sudah Berhenti, Tapi Belum Mandi Janabah, Bolehkah Berhubungan Suami-Isteri?
Oleh : Aini Aryani
Salah satu larangan bagi wanita yang sedang haid adalah berhubungan suami-isteri. Dan bagi wanita yang sudah berhenti atau selesai masa haidnya namun belum sempat mandi janabah, ada sedikit perbedaan di kalangan ulama Fiqih tentang boleh atau tidaknya berhubungan intim bagi wanita tersebut.
1. Madzhab Al-Hanafiyah [1]
Ulama dari madzhab ini membolehkan wanita haid yang sudah berhenti darah haidnya untuk berhubungan suami isteri, walau belum mandi janabah, dengan syarat sudah melewati hari ke-10 sejak hari pertama haidnya. Durasi 10 hari adalah durasi maksimal haid dalam madzhab Hanafi.
Ada beberapa ketentuan bagi wanita haid terkait boleh dan tidaknya berhubungan intim usai berhentinya darah haid. Sebagaimana dijelaskan oleh salah satu ulama madzhab Hanafi, yakni Ibnu Abdin dalam kitabnya Hasyiyah, yakni :
a. Darah berhenti di akhir durasi maksimal haid, atau lebih.
Dalam madzhab Hanafi, durasi maksimal haid adalah 10 hari. Ketika darahnya benar-benar berhenti pada hari ke-10 atau lebih, ia boleh berhubungan seksual walaupun belum sempat mandi janabah. Yang penting darahnya benar-benar sudah berhenti keluar. Akan tetapi wanita tersebut tetap dianjurkan menunda hubungan seksual sampai ia melakukan mandi janabah terlebih dulu.
b. Darah berhenti sebelum mencapai durasi maksimal haid (sebelum hari ke-10)
Jika darahnya berhenti sebelum mencapai hari ke-10 dari hari pertama haid, ia tidak boleh berhubungan suami-isteri sebelum mandi janabah.
c. Darah berhenti setelah mencapai durasi kebiasaan
Poin ini berlaku bagi wanita Mu'taadah, yakni wanita yang memiliki siklus haid teratur dimana ia bisa memprediksi durasi haidnya dengan cara melihat dari kebiasaannya. Misalnya, wanita yang setiap bulannya selalu memiliki durasi haid yang tetap (6 hari, atau 7 hari, atau 8 hari, dst).
Bagi wanita Mu'taadah yang terbiasa haid selama 6 hari (misalnya), jika darah haidnya sudah berhenti di hari ke-6 atau lebih, maka ia boleh berhubungan suami isteri setelah mandi janabah. Dan tidak boleh melakukannya sebelum mandi janabah.
d. Darah berhenti sebelum mencapai durasi kebiasaan
Poin ini juga hanya berlaku bagi wanita Mu'taadah.
Wanita mu'tadah yang terbiasa haid selama 7 hari (misalnya), jika darahnya keluar di hari ke-4 atau ke-5 atau ke-6, maka ia belum boleh berhubungan suami-isteri, bahkan walaupun ia sudah mandi janabah.
Artinya, wanita mu'tadah hanya boleh berhubungan intim jika : [1] darahnya berhenti di akhir durasi kebiasaannya, dan [2] sudah mandi janabah terlebih dulu.
Catatan:
Dari poin-poin diatas dapat disimpulkan bahwa madzhab Hanafi tidak membolehkan wanita yang baru selesai haidnya untuk berhubungan suami-isteri sebelum mandi janabah. Kecuali jika sudah mencapai hari ke-10 atau lebih sejak hari pertama keluarnya haid.
2. Madzhab Al-Malikiyyah, As-Syafi'iyyah, Al-Hanabilah.
Jumhur Ulama dari madzhab Maliki, Syafi'i dan Hambali berpendapat bahwa wanita yang bersih dari haid masih belum boleh melakukan hubungan intim selama ia belum melakukan mandi janabah. [2]
Sebab wanita haid yang hendak melakukan hubungan intim harus melalui 2 fase, yakni : At-Thuhr (berhentinya darah haid) dan Al-ghusl (melakukan mandi janabah). Hal tersebut disebutkan dalam QS. Al-Baqarah: 222 yang isinya :
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah bersuci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. (QS. Al-Baqarah : 222)
Dalam ayat diatas terdapat dua redaksi yang harus difahami, yakni :
يَطْهُرْنَ
تَطَهَّرْنَ
Yang pertama (يَطْهُرْنَ) bermakna "suci" secara hakiki yakni berhentinya darah haid. Dan yang kedua (تَطَهَّرْنَ) bermakna "bersuci" yakni melakukan mandi janabah untuk mengangkat hadats besarnya usai haid.
Bahkan ulama dari madzhab Maliki menegaskan bahwa bersuci dengan tayammum saja tidak menjadikan wanita tersebut boleh berhubungan intim dengan suaminya sampai ia benar-benar mandi janabah menggunakan air. [3]
Kesimpulan
Mayoritas ulama fiqih (selain madzhab Hanafi) berpendapat bahwa wanita haid yang sudah berhenti darahnya tidak boleh berhubungan seksual sebelum ia melakukan mandi janabah. Hal tersebut sesuai dengan QS. Al-Baqarah : 222.
Adapun ulama dari madzhab Hanafi memang membolehkan wanita haid yang sudah berhenti darahnya untuk berhubungan intim, dengan syarat sudah melewati durasi maksimal haid, yang dalam madzhab ini 10 hari. Dalam keadaan inipun, madzhab ini tetap menganjurkan si wanita untuk mandi janabah tersebih dahulu.
Wallahu A'lam Bishshawab.
Referensi :
1. Hasyiyah Ibn Abdin, jilid 1 hal. 195
2. Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Jilid 18, hal. 325
3. Hasyiyah Ad-Dasuqi 'Ala Asy-Syarh Al-Kabir, jilid 1 hal. 173

"Siapa Saja Mahram Kita dan konsekuensinya.

Resume Kajian Muslimah
"Siapa Saja Mahram Kita dan konsekuensinya.
Mahram.
Mengapa kita perlu tahu siapa saja mahram kita?
Karena hal yang berkaitan mahram ini banyak konsekuensinya.
Kesalahan umum masyarakat sering menyamakan mahram dengan muhrim. Padahal artinya berbeda.
Muhrim berarti orang yang sedang berihram.
Sedangkan Secara definisi, mahram adalah lawan jenis yang HARAM untuk kita NIKAHI.
Mahram terbagi menjadi dua macam:
1. Mahram Mu'abbad: kemahraman yang terjadi selama-lamanya sampai mati.
- boleh terlihat aurat kecil
- boleh bersentuhan
- boleh berkhalwat
- boleh berpergian
Mahram Mu'abbad terdiri dari 3 bagian:
A. Karena Nasab
B. Karena Pernikahan
C. Karena Penyusuan
2. Mahram Mu'aqqat: ada masa dimana kita tidak boleh menikah dengan dia karena suatu sebab
Kalau sebab itu hilang, kita boleh menikah dengan dia. - misal : saudara ipar
Ketika dia sudah cerai dengan saudara kandung kita, maka kita boleh menikah dengannya.
Hukumnya sama dengan bukan mahram.
- haram terlihat aurat kecil
- haram bersentuhan
- haram berkhalwat
- haram berpergian
Sedangkan tidak semua yang kita sebut saudara adalah mahram (contoh: saudara sepupu adalah bukan mahram)
Q.S. An Nisa: 22-23
Mengatur siapa saja mahram ditujukan untuk laki-laki (silakan buka Qur'an masing-masing)
Kajian muslimah kali ini membahas Mahram dari sisi hukum fikih ditujukan untuk wanita, dan KHUSUS membahas Mahram Mu'abbad (terjadi selamanya)
A. KARENA NASAB
1. Ayah
2. Paman - adik lk dari ibu, adik lk dari ayah
3. Saudara kandung lk
4. Anak lk
5. Keponakan lk
B. KARENA PERNIKAHAN
1. Ayah mertua - terjadi setalah akad nikah sah - selamanya.
Ketika wanita diceraikan suaminya, maka wanita ini tetap tidak boleh menikah dengan mantan ayah mertuanya
2. Anak tiri lk - terjadi setelah akad nikah sah - selamanya.
Ketika wanita di ceraikan suaminya, atau suaminya meninggal, maka wanita ini tetap tidak boleh menikah dengan anak tirinya
3. Suami ibu (ayah tiri)
Ketika ibu menjanda dan menikah lagi, suami ibu menjadi mahram selamanya.
Syaratnya: ketika ibunya sudah pernah dipergauli oleh ayah tirinya itu
4. Suami anak perempuan (menantu lk) - terjadi setelah akad nikah sah - selamanya
Bagaimana dengan suami? apakah dia termasuk dalam mahram?
Tidak. Suami adalah ciptaan Allah yang istimewa.
Dia adalah laki-laki yang bukan mahram kita, tapi punya hak dan kewajiban dan hak yang luar biasa.
Bagaimana dengan mahram tapi kafir, apakah termasuk mahram yang perempuan boleh membuka hijab didepannya?
Boleh.
Dalam hadits, Ummu Habibah adalah salah satu istri Rasulullah. Suatu hari, ayahnya, yaitu Abu Sufyan (yang kafir) mendatangi rumah Ummu Habibah dan bercengkerama dengannya dalam keadaan Ummu Habibah tidak memakai hijab.
Lalu Rasulullah datang, dan tidak menyuruh Ummu Habibah untuk memakai hijab.
C. Karena Persusuan
Tidak banyak dijelaskan di Q.S Annisa 22-23.
Namun ditegaskan dalam hadist shahih:
“Penyusuan itu menjadikan haram apa yang haram karena hubungan kelahiran (nasab).” (HR. al-Bukhari no. 5099 dan Muslim no. 1444)
Mahram karena Persusuan:
1. Suami ibu susuan
2. Saudara lk ibu susuan
3. Saudara lk suami ibu susuan
4. Ayah dari ibu susuan
5. Ayah dari suami ibu susuan
6. Anak kandung laki2 dari ibu susuan (lahir dari rahim ibu, entah dia minum ASI ibu atau tidak)
7. Anak susuan laki-laki dari ibu susuan (saudara sepersusuan)
Syarat penyusuan
1. Masuk ke perut (tidak gumoh segera setelah menyusu)
2. Sampai kenyang
3. Minimal 5 kali (mayoritas ulama fikih, atau 3 kali menurut ulama madzhab Hambali)
4. Maksimal usia anak susuan: 2 tahun
Referensi Rumah Fiqih

Perbedaan Hijab, Khimar, dan Jilbab

Assalamu'alaikum^^
Wahai Ukhti, berhijablah dan sempurnakan hijabmu. Akhir-akhir ini istilah hijab sudah meluas di kalangan masyarakat, tapi ukhti tahukah beda nya hijab, khimar, dan jilbab? ^^ •

Hijab adalah kata dalam bahasa Arab (khajaba) yang berarti penghalang atau penutup. Tentunya yang dimaksud dengan ‘penghalang’ adalah menghalangi pandangan dari yang tidak seharusnya dilihat (baca: aurat). Hijab adalah pakaian dari atas sampai kebawah yang dikenakan WAJIB bagi muslimah untuk menutup aurat. •

Lalu apa pengertian Khimar? Khimar adalah kain kerudung yang digunakan muslimah untuk menutup kepala sehingga tertutup rambut, leher, anting-anting dan dada mereka.
Sedang pengertian Jilbab adalah baju panjang / gamis /daster yang menutup seluruh badan. • “Hai Nabi, katakanlah kepada Isteri-isterimu, Anak-anak perempuanmu dan Isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab :59). •

Jadi ukhti, lebih jelasnya seperti ini -> Jilbab + Khimar = Hijab ^^
Saat ini Alhamdulillah sudah banyak muslimah yang berhijab atau menutup aurat di depan non mahram nya. Tapi apakah hijab mu sudah sesuai dengan yang disyariatkan Allah dan Rasulullah?Yuk kita cek hijab kita masing-masing Ukhti ^^ •

Sudah berhijab, TAPI khimar atau kerudung Ukhti masih tipis dan transparan? rambut pun kelihatan, terus guna khimar mu apa donk ukhti ku sayang? Sama aja kamu belum berhijab, yuk disempurnakan ^^ •

Sudah berhijab, TAPI khimar atau kerudungnya kecil dan belum menutup dada? hmm inget lagi yuk firmanNya di QS An Nur (24) : 31 “..hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya..” •

Sudah berhijab, TAPI baju Ukhti masih ketat? Bukankah tidak boleh menampakkan bentuk tubuh mu wahai shalihat? segera longgarkan baju mu dan tutup rapat-rapat ^^ •

Semoga bermanfaat☺
.Silahkan Klik https://syiarceritamotivasiislam.blogspot.co.id/
Konsultasi silahkan inbox atau email ke scidmilove2016@gmail.com
 
Selasa, 06 September 2016 | By: Admin

Syaitan Tidak Akan Mencuri Uang

Syaitan tidak akan mencuri uang mu, motor mu, mobil mu, atau rumahmu. Syaitak tidak akan mencuri seluruh harta mu.
Tapi syaitan mengetahui apa yang lebih berharga daripada semua itu.
.
Yaitu iman dari seseorang kepada Allah.